(
Cerita ini hanya fiktif belaka, bila ada kesamaan nama dan tempat hanya
kebetulan semata, untuk bahan renungan bagi kita semua )
“Ampun,
ayah...ampun ayah.." Katanya dengan suara terisak isak. Wajahnya memancarkan
rasa takut. Dia tidak meraung. Rifqi ku tegar dengan siksaan itu. Tapi matanya
memandangku. Dia membutuhkan perlindunganku. Tapi aku tak sanggup karena aku
tahu betul sifat suamiku.
"Lihat adik adikmu. Mereka semua pintar - pintar
sekolah. Mereka rajin belajar. Ini kamu anak tertua malah malas dan t*lol Mau
jadi apa kamu nanti ?. Mau jadi beban adik adik kamu ya?" Kata suamiku dengan
suara terengah - engah kelelahan memukul Rifqi.
Suamiku
terduduk di kursi. Matanya kosong memandang kearah Rifqi dan kemudian melirik
ke arahku.
"Kamu ajarin dia. Aku tidak mau lagi lihat lapor sekolahnya buruk.
Dengar itu". Kata suamiku kepadaku sambil berdiri dan masuk kekamar tidur.
Kupeluk
Rifqi. Matanya memudar. Aku tahu dengan nilai lapor buruk dan tidak naik kelas
saja dia sudah malu apalagi di maki - maki dan dimarahi didepan adik adiknya. Dia
malu sebagai anak tertua. Kembali matanya memandangku. Kulihat dia butuh
dukunganku. Kupeluk Rifqi dengan erat.
"Anak bunda, tidak t*lol. Anak bunda
pintar kok. Besok rajin ya belajarnya" kataku.
"Rifqi
udah belajar sungguh sungguh bunda, Bunda kan lihat sendiri. Tapi Rifqi memang
engga pintar seperti Rani dan Sinta. Kenapa ya Bunda Wajah lugunya membuatku
terenyuh. Aku menangis “Rifqi, pintar kok. Rifqi kan anak ayah. Ayah
Rifqi pintar tentu Rifqi juga pintar.
"Rifqi
bukan anak ayah". Katanya dengan mata tertunduk "Rifqi telah
mengecewakan Ayah ya bunda?" Tidak, jawabku.
Malamnya
, adiknya Rani yang sekamar dengannya membangunkan kami karena ketakutan
melihat Rifqi mengigau terus. Aku dan suamiku berhamburan ke kamar Rifqi.
Kurasakan badannya panas. Kupeluk Rifqi dengan sekuat jiwaku untuk
menenangkannya. Matanya melotot kearah kosong. Kurasakan badannya panas. Segera
kukompres kepalanya dan suamiku segera menghubungi dokter keluarga. Rifqi tak
lepas dari pelukanku
“Anak
bunda, buah hati bunda, kenapa sayang. Ini bunda,.. Kataku sambil terus
membelai kepalanya. Tak berapa lama matanya mulai redup dan terkulai. Dia mulai
sadar. Rifqi membalas membentaknya.Bunda, temani Rifqi tidur ya." Katanya
sayup sayup. Suamiku hanya menghelap nafas. Aku tahu suamiku merasa bersalah
karena kejadian siang tadi. Rifqi adalah putra tertua kami. Dia lahir memang
ketika keadaan keluarga kami sadang sulit. Suamiku ketika itu masih kuliah dan
bekerja serabutan untuk membiayai kuliah dan rumah tangga. Ketika itulah aku
hamil Rifqi. Mungkin karena kurang gizi selama kehamilan tidak membuat janinku
tumbuh dengan sempurna. Kemudian , ketika Rifqi lahir kehidupan kami masih
sangat sederhana. Masa balita Rifqi pun tidak sebaik anak anak lain. Diapun
kurang gizi.
Tapi
ketika usianya dua tahun, kehidupan kami mulai membaik seiring usainya kuliah
suamiku dan mendapatkan karir yang bagus di BUMN. Setelah itu aku kembali hamil
dan Rani lahir., juga laki laki dan dua tahu setelah itu, Sinta lahir, adik
perempuannya. Kedua putra putriku yang lahir setelah Rifqi mendapatkan
lingkungan yang baik dan gizi yang baik pula. Makanya mereka disekolah pintar
pintar. Makanya aku tahu betul bahwa kemajuan generasi ditentukan oleh
ketersediaan gizi yang cukup dan lingkungan yang baik. Tapi keadaan ini tidak
pernah mau diterima oleh Suamiku. Dia punya standard yang tinggi terhadap anak
anaknya. Dia ingin semua anaknya seperti dia. Pintar dan cerdas.
Masalah
Rifqi bukannya dia t*lol, Tapi dia malas. Itu saja. Kata suamiku berkali kali.
Seakan dia ingin menepis tesis tentang ketersediaan gizi sebagai pendukung anak
jadi cerdas.
Aku ini
dari keluarga miskin. Manapula aku ada gizi cukup. Mana pula orang tuaku ngerti
soal gizi. Tapi nyatanya aku berhasil.
Aku tak
bisa berkata banyak untuk mempertahankan tesisku itu. Seminggu setelah itu,
suamiku memutuskan untuk mengirim Rifqi ke pesantren. Aku tersentak.
"Apa
alasan Mas mengirim Rifqi ke Pondok Pesantren?" Kataku.
"Biar
dia bisa dididik dengan benar...!" jawab suamiku.
"Apakah
dirumah dia tidak mendapatkan itu?" Tanyaku lagi.
"Ini
sudah keputusanku, Titik.!" Jawab suamiku dengan ketus.
Tapi
kenapa Mas? Aku berusaha ingin tahu alasan dibalik itu. Suamiku hanya
diam. Aku tahu alasannya.Dia tidak ingin ada pengaruh buruk kepada kedua putra
putri kami. Dia malu dengan tidak naik kelasnya Rifqi. Suamiku ingin memisahkan
Rifqi dari adik adiknya agar jelas mana yang bisa diandalkannya dan mana yang
harus dibuangnya. Mungkinkah itu alasannya. Bagaimanapun , bagiku Rifqi akan
tetap putraku dan aku akan selalu ada untuknya. Aku tak berdaya. Suamiku
terlalu pintar bila diajak berdebat.
Ketika
Rifqi mengetahui dia akan dikirim ke Pondok Pesantren, dia memandangku. Dia
nampak bingung. Dia terlalu dekat denganku dan tak ingin berpisah dariku. Dia
peluk aku
Rifqi
enggak mau jauh jauh dari bunda Katanya. Tapi seketika itu juga suamiku
membentaknya.
Kamu
ini laki laki. Tidak boleh cengeng. Tidak boleh hidup dibawah ketiak ibumu.
Ngerti. Kamu harus ikut kata Ayah. Besok Ayah akan urus kepindahan kamu ke
Pondok Pesantren. Setelah Rifqi berada di Pondok Pesantren setiap hari aku
merindukan buah hatiku. Tapi suamiku nampak tidak peduli.
Kamu
tidak boleh mengunjunginya di pondok. Dia harus diajarkan mandiri. Tunggu saja
kalau liburan dia akan pulang Kata suamiku tegas seakan membaca kerinduanku
untuk mengunjungi Rifqi.
Tak
terasa Rifqi kini sudah kelas 3 Madrasah Aliyah atau setingkat SMU. Rani kelas
1 SMU dan Sinta kelas 2 SLP. Suamiku tidak pernah bertanya soal Raport
sekolahnya. Tapi aku tahu raport sekolahnya tak begitu bagus tapi juga tidak
begitu buruk. Bila liburan Rifqi pulang kerumah, Rifqi lebih banyak diam. Dia
makan tak pernah berlebihan dan tak pernah bersuara selagi makan sementara
adiknya bercerita banyak soal disekolah dan suamiku menanggapi dengan tangkas
untuk mencerahkan. Walau dia satu kamar dengan adiknya namun kamar itu selalu
dibersihkannya setelah bangun tidur.
Tengah
malam dia bangun dan sholat tahajud dan berzikir sampai sholat subuh.
Kuperhatikan tahun demi tahun perubahan Rifqi setelah mondok. Dia berubah dan
berbeda dengan adik adiknya. Dia sangat mandiri dan hemat berbicara. Setiap
hendak pergi keluar rumah, dia selalu mencium tanganku dan setelah itu
memelukku.
Beda
sekali dengan adik adiknya yang serba cuek dengan gaya hidup modern didikan
suamiku. Setamat Madrasa Aliyah, Rifqi kembali tinggal dirumah. Suamiku tidak
menyuruhnya melanjutkan ke Universitas. Nilai raport dan kemampuannya tak bisa
masuk universitas.
Sudahlah.
Aku tidak bisa mikir soal masa depan dia. Kalau dipaksa juga masuk universitas
akan menambah beban mentalnya. Demikian alasan suamiku. Aku dapat memaklumi
itu. Namun suamiku tak pernah berpikir apa yang harus diperbuat Rifqi setelah
lulus dari pondok. Rifqi-pun tidak pernah bertanya. Dia hanya menanti dengan
sabar. Selama setahun setelah Rifqi tamat dari mondok, waktunya lebih banyak di
habiskan di Masjid. Dia terpilih sebagai ketua Remaja Islam Masjid. Rifqi tidak
memilih Masjid yang berada di komplek kami tapi dia memilih masjid
diperkampungan yang berada dibelakang komplek. Mungkin karena inilah suamiku
semakin kesal dengan Rifqi karena dia bergaul dengan orang kebanyakan. Suamiku
sangat menjaga reputasinya dan tak ingin sedikitpun tercemar.
Mungkin
karena dia malu dengan cemoohan dari tetangga maka dia kadang marah tanpa
alasan yang jelas kepada Rifqi. Tapi Rifqi tetap diam. Tak sedikitpun dia
membela diri. Suatu hari yang tak pernah kulupakan adalah ketika polisi datang
kerumahku. Polisi mencurigai Rifqi dan teman temannya mencuri di rumah yang ada
di komplek kami. Aku tersentak. Benarkah itu. Rifqi sujud dikaki ku sambil
berkata
Rifqi
tidak mencuri , Bunda. Tidak, Bunda percayakan dengan Rifqi. Kami memang sering
menghabiskan malam di masjid tapi tidak pernah keluar untuk mencuri. Aku
meraung ketika Rifqi dibawa kekantor polisi. Suamiku dengan segala daya dan
upaya membela Rifqi. Alhamdulilah Rifqi dan teman temannya terbebaskan dari
tuntutan itu. Karena memang tidak ada bukti sama sekali. Mungkin ini akibat
kekesalan penghuni komplek oleh ulah Rifqi dan kawan kawan yang selalu berzikir
dimalam hari dan menggangu ketenangan tidur. Tapi akibat kejadian itu, suamiku
mengusir Rifqi dari rumah. Rifqi tidak protes. Dia hanya diam dan menerima
keputusan itu. Sebelum pergi dia rangkul aku
Bunda ,
Maafkanku. Rifqi belum bisa berbuat apapun untuk membahagiakan bunda dan Ayah.
Maafkan Rifqi Pesanya. Diapun memandang adiknya satu satu. Dia peluk mereka
satu persatu
Jaga
bunda ya. Mulailah sholat dan jangan tinggalkan sholat. Kalian sudah besar .
demikian pesan Rifqi. Suamiku nampak tegar dengan sikapnya untuk mengusir Rifqi
dari rumah.
Mas,
Dimana Rifqi akan tinggal. Kataku dengan batas kekuatan terakhirku membela
Rifqi.
Itu
bukan urusanku. Dia sudah dewasa. Dia harus belajar bertanggung jawab dengan
hidupnya sendiri.”
*****
Tak
terasa sudah enam tahun Rifqi pergi dari Rumah. Setiap bulan dia selalu
mengirim surat kepadaku. Dari suratnya kutahu Rifqi berpindah pindah kota.
Pernah di Bandung, Jakarta, Surabaya dan tiga tahun lalu dia berangkat ke Luar
negeri. Bila membayangkan masa kanak kanaknya kadang aku menangis. Aku
merindukan putra sulungku. Setiap hari kami menikmati fasilitas hidup yang berkecukupan.
Rani kuliah dengan kendaraan bagus dan ATM yang berisi penuh. Sinta-pun sama.
Karir suamiku semakin tinggi.
Lingkungan
sosial kami semakin berkelas. Tapi, satu putra kami pergi dari kami. Entah
bagaimana kehidupannya. Apakah dia lapar. Apakah dia kebasahan ketika hujan
karena tidak ada tempat bernaung. Namun dari surat Rifqi , aku tahu dia baik
baik saja. Dia selalu menitipkan pesan kepada kami,
Jangan
tinggalkan sholat. Dekatlah kepada Allah maka Allah akan menjaga kita siang dan
malam.
***
Prahara
datang kepada keluarga kami. Suamiku tersangkut kasus Korupsi. Selama proses
pemeriksaan itu suamiku tidak dibenarkan masuk kantor. Dia dinonaktifkan.
Selama proses itu pula suamiku nampak murung. Kesehatannya mulai terganggu.
Suamiku mengidap hipertensi. Dan puncaknya , adalah ketika Polisi menjemput
suamiku di rumah. Suamiku terbukti melakukan tindak pidana korupsi. Rumah dan
semua harta yang selama ini dikumpulkan disita oleh negara. Media massa
memberitakan itu setiap hari. Reputasi yang selalu dijaga oleh suamiku selama
ini ternyata dengan mudah hancur berkeping keping. Harta yang dikumpul, sirna
seketika. Kami sekeluarga menjadi pesakitan. Rani malas untuk terus keliah
karena malu dengan teman temannya. Sinta juga sama yang tak ingin terus kuliah.
Kini
suamiku dipenjara dan anak anak jadi bebanku dirumah kontrakan. Ya walau mereka
sudah dewasa namun mereka menjadi bebanku. Mereka tak mampu untuk menolongku.
Baru kutahu bahwa selama ini kemanjaan yang diberikan oleh suamiku telah
membuat mereka lemah untuk survival dengan segala kekurangan. Maka jadilah
mereka bebanku ditengah prahara kehidupan kami. Pada saat inilah aku sangat
merindukan putra sulungku. Ditengah aku sangat merindukan itulah aku melihat
sosok pria gagah berdiri didepan pintu rumah. Rifqiku ada didepanku dengan
senyuman khasnya. Dia menghambur kedalam pelukanku.
Maafkan
aku bunda, Aku baru sempat datang sekarang sejak aku mendapat surat dari bunda
tentang keadaan ayah. katanya. Dari wajahnya kutahu dia sangat merindukanku.
Sinta dan Rani juga segera memeluk Rifqi. Mereka juga merindukan kakaknya. Hari
itu, kami berempat saling berpelukan untuk meyakinkan kami akan selalu bersama
sama.
Kehadiran
Rifqi dirumah telah membuat suasana menjadi lain. Dengan bekal tabungannya
selama bekerja diluar negeri, Rifqi membuka usaha percetakan dan reklame. Aku
tahu betul sedari kecil dia suka sekali menggambar namun hobi ini selalu di
cemoohkan oleh ayahnya. Rifqi mengambil alih peran ayahnya untuk melindungi
kami. Tak lebih setahu setelah itu, Rani kembali kuliah dan tak pernah
meninggalkan sholat dan juga Sinta. Setiap maghrib dan subuh Rifqi menjadi imam
kami sholat berjamaah dirumah.Seusai sholat berjamaah Rifqi tak lupa duduk
bersilah dihadapan kami dan berbicara dengan bahasa yang sangat halus, beda
sekali dengan gaya ayahnya
“Manusia
tidak dituntut untuk terhormat dihadapan manusia tapi dihadapan Allah. Harta
dunia, pangkat dan jabatan tidak bisa dijadikan tolok ukur kehormatan. Kita
harus berjalan dengan cara yang benar dan itulah kunci meraih kebahagiaan dunia
maupun akhirat. Itulah yang harus kita perjuangkan dalam hidup agar mendapatkan
kemuliaan disisi Allah. Dekatlah kepada Allah maka Allah akan menjaga kita.
Apakah ada yang lebih hebat menjaga kita didunia ini dibandingkan dengan
Allah.
Apa
yang menimpa keluarga kita sekarang bukanlan azab dari Allah. Ini karena Allah
cinta kepada Ayah. Allah cinta kepada kita semua karena kita semua punya peran
hingga membuat ayah terpuruk dalam perbuatan dosa sebagai koruptor. Allah
sedang berdialogh dengan kita tentang sabar dan ikhlas, tentang hakikat
kehidupan, tentang hakikat kehormatan. Kita harus mengambil hikmah dari ini
semua untuk kembali kepada Allah dalam sesal dan taubat. Agar bila besok ajal
menjemput kita, tak ada lagi yang harus disesalkan, Karna kita sudah sangat
siap untuk pulang keharibaan Allah dengan bersih.
Seusai
Rifqi berbicara, aku selalu menangis. Rifqi yang tidak pintar sekolah, tapi
Allah mengajarinya untuk mengetahui rahasia terdalam tentang kehidupan dan dia
mendapatkan itu untuk menjadi pelindung kami dan menuntun kami dalam taubah.
Ini jugalah yang mempengaruhi sikap suamiku dipenjara. Kesehatannya membaik.
Darah tingginya tak lagi sering naik. Dia ikhlas dan sabar, dan tentu karena
dia semakin dekat kepada Allah. Tak pernah tinggal sholat sekalipun. Zikir dan
linangan airmata sesal akan dosanya telah membuat jiwanya tentram.
Mahasuci
Allah